Biografi Muhammad Abduh - Pembaharu Pemikiran Islam

Muhammad Abduh
MUHAMMAD Abduh adalah murid setia Jamaluddin al-Afghani yang menjadi penerus perjuangannya dalam mengobarkan semangat pembaharuan pemikiran Islam. 

Namun, berbeda dengan gurunya yang revolusioner dan menempuh pendekatan politik, Abduh adalah seorang "moderat" dan lebih banyak memusatkan perhatian pada bidang pendidikan dan pendekatan kultural ketimbang kegiatan politis.

Suatu ketika, ia mengajak gurunya untuk meninggalkan perjuangan politik formil dan memusatkan pada pendidikan. Ajakan itu ditolak Al-Afghani dengan mengatakan: "Saudara nampaknya ingin mundur ke belakang."

Abduh dilahirkan tahun 1945 (versi lain mengatakan tahun 1849) dari keluarga petani di Desa Mahillah, Mesir Hilir. Ayahnya, Abduh Ibnu Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama menetap di Mesir. Ibunya berasal dari bangsa Arab yang konon silsilah keturunannya sampai kepada Umar bin Khattab.

Abduh diajar mengaji Al-Quran oleh orangtuanya. Sedangkan pelajaran baca-tulis didapatkannya secara privat dari seorang guru yang didatangkan ayahnya. Pada usia 10 tahun, ia dikirim ayahnya pada seorang Hafidz al-Quran. Dua tahun kemudian (dalam usia ke-12 tahun), ia telah dapat menghapal al-Quran dengan baik.

Ayahnya kemudian mengirim Abduh ke Thantha untuk belajar di sebuah sekolah agama. Namun, sistem menghapal yang diterapkan di sana membuatnya tidak bisa bertahan karena merasa tidak mengerti apa-apa. Ia pun pulang kampung dan berniat hendak menjadi petani.

Namun, niat itu tidak kesampaian. Ayahnya tetap memaksa agar ia meneruskan belajar di Thantha. Akhirnya, ia terpaksa pergi, bukan ke Thantha, tapi ke rumah paman ayahnya bernama Syeikh Darwisy Khadr untuk sembunyi. Darwisy kemudian mendidik Abduh untuk belajar mencintai ilmu dan buku. Didikan Darwisy berhasil, Abduh akhirnya mau meneruskan studi di Thantha.

TAHUN 1886 Abduh meneruskan studi ke Universitas Al-Azhar Kairo. Dan, dalam tahun 1872, ketika berusia 23 tahun, ia bertemu dengan al-Afghani yang berada di Mesir karena diusir pemerintah Afghanistan. 

Sejak itu, ia menjadi murid setia al-Afghani dan sering datang ke rumah gurunya itu untuk mendengar ajaran tentang tata negara, filsafat, dan perjuangan menentang kolonialisme Barat. 

 Lewat al-Afghani, ia pun berkenalan dengan karya-karya penulis Barat dan berbagai masalah sosial-politik. Al-Afghani juga meyakinkan muridnya itu akan pentingnya jurnalistik.

Setelah lulus dari Al-Azhar (1877) dan menyabet gelar kesarjanaan Alim, Abduh diangkat menjadi dosen Al-Azhar, juga mengajar di Universitas Darul Ulum (1879). Namun, kemudian ia dipecat dari jabatannya sebagai dosen oleh pemerintah dengan alasan yang tidak jelas. 

Setahun kemudian, setelah terjadi pergantian pemerintahan, ia diangkat menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah resmi pemerintah.

Dengan tuduhan terlibat dalam aksi pemberontakan Urabi Pasha, tahun 1882 Abduh diusir pemerintah dan pergi ke Libanon. Di analah ia mendapat undangan dari al-Afghani untuk bergabung dengan gurunya itu di Prancis. 

Di Paris, guru dan murid itu kemudian membentuk organisasi Al-Urwatul Wutsqa dan menerbitkan majalah dengan nama yang sama.

Dari Paris Abduh kembali ke Libanon setelah beberapa bulan singgah di Tunisia. Dan, setelah tiga tahun di Libanon, ia dibolehkan kembali ke Mesir atas jasa kawan-kawannya. Bahkan, tahun 1889 ia diangkat menjadi hakim agama, penasihat Mahkamah Banding (1891), dan Mufti Besar Mesir (1899) hingga akhir hayatnya tahun 1905.

DALAM melancarkan gerakan pembaharuannya, Abduh --bersama seorang pengikutnya Muhammad Rasyid Ridha-- menerbitkan Majalah Al-Manar. Majalah itulah yang menjadi corong gerakan pembaharuan Islam Abduh dan muridnya (Ridha). 

Salah satu tujuan pokok gerakan pembaharuan Muhammad Abduh adalah memberantas taklid, bid'ah, dan kejumudan, yang dipandang sebagai sebab kemunduran umat Islam, dan menekankan keharusan melakukan ijtihad untuk melakukan interpretasi baru terhadap al-Quran dan al-Hadits khususnya tentang soal-soal kemasyarakatan yang digariskan oleh Allah pada tataran prinsip-prinsip umum tanpa perincian.

Satu hal yang menjadi keyakinannya adalah bahwa perbaikan kehidupan sosial umat hendaklah dimulai dari individu. Hal itu berdasar atas QS 13:11 yang menyatakan, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri. 

Utuk melakukan reformasi dan pembaharuan politik sekaligus membebaskan dunia Islam dari penjajahan dan dominasi Barat, Abduh berpendirian bahwa hal itu akan tercapai dengan baik melalui evolusi dan usaha-usaha bertahap; dan untuk menjamin bahwa pembaharuan politik itu nanti akan menghasilkan perubahan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas, tidak hanya oleh segelintir orang, diperlukan juga pembaharuan bidang pendidikan yang akan meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas kesempatan belajar pada rakyat awam.

Abduh merasa yakin, hanya melalui reformasi pendidikanlah umat Islam di satu sisi akan mendapatkan kebebasan dan kemampuan berpikir serta tahu akan hak-haknya, di sisi lain meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab dan kewajibannya. 

Usaha-usaha pendidikan, menurutnya, perlu diarahkan untuk menyintai diri sendiri, masyarakat, dan negara. Bahasa Arab perlu dihidupkan dan untuk itu metodenya perlu diperbaiki dan itu ada kaitannya dengan etode pendidikan. 

Sistem menghafal di luar kepala, katanya, perlu diganti dengan sistem penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.

Demikian sebagian dari pemikiran Abduh. Sepeninggalnya, upaya pembaharuannya dilanjutkan oleh murid setianya,  Muhammad Rasyid Ridha. (Dari berbagai sumber, www.risalahislam.com).***

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post