Hukuman bagi Muslim yang Keluar dari Islam (Murtad)

Hukuman bagi Muslim yang Keluar dari Islam (Murtad)
Murtad adalah orang Muslim yang keluar dari Islam dengan berpindah ke agama lain. Sanksinya: tobat atau hukuman mati.
 
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.“ (QS Al-Baqarah: 217)


“Tidak halal darah seorang Muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali dari tiga orang berikut ini; seseorang yang murtad dari Islam dan meninggalkan jama’ah, orang yang telah menikah tapi berzina dan seseorang yang membunuh orang lain.” ( HR Muslim )

DALAM
risalah Islam, mereka yang mengganti keyakinan (akidah) atau agama dan keluar dari Islam (murtad), ada beberapa hukuman yang dikenakan kepadanya. Hukuman itu berawal dari:
  1. Diminta untuk tobat
  2. Hukuman takzir
  3. Penyitaan harta
  4. Kehilangan beberapa hak bertindak hukum
  5. Hukuman mati.
Sesuai dengan prinsip Islam, orang yang murtad pertama kali harus diajak masuk Islam kembali melalui tobat. Akan tetapi, ulama fikih berbeda pendapat tentang hukum mengajak orang murtad bertobat.

Menurut jumhur ulama fikih, wajib hukumnya mengajak orang-orang murtad untuk masuk Islam kembali sebelum menghukum mati (membunuhnya).

Ajakan ini, menurut mereka dilakukan sebanyak tiga kali. Alasan mereka adalah sebuah riwayat dari Mu‘az bin Jabal ketika ia diutus Rasulullah SAW ke Yaman. Rasulullah SAW mengatakan kepadanya:

”Laki-laki mana saja yang murtad, maka ajaklah dia (kembali pada Islam), jika ia tidak mau kembali pada Islam maka bunuhlah ia. Perempuan mana saja yang murtad, serulah ia kembali pada Islam, jika mereka tidak mau kembali, maka bunuhlah mereka.” (HR. Tabrani).

Dalam riwayat lain dikatakan:

”Bahwa seorang wanita bernama Ummu Marwan murtad, lalu persoalannya sampai kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW menyuruh para sahabat mengajaknya untuk tobat. Apabila ia tobat, maka biarkan, tetapi apabila ia tidak tobat, maka bunuh ia.” (HR. ad-Daruqutni dan Baihaki).

Akan tetapi, ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa untuk mengajak orang murtad bertobat dan kembali masuk Islam hukumnya hanya dianjurkan saja (sunah), karena mereka telah mengetahui secara baik Islam tersebut. Apabila mereka tidak tobat, setelah diajak tobat selama tiga hari, maka mereka boleh dibunuh.

Alasan yang mereka kemukakan adalah riwayat dari Umar bin Khattab ketika sekelompok tentara mendatanginya. Para tentara ini mengatakan kepada Umar bin Khattab bahwa ada salah seorang di antara mereka yang murtad, lalu mereka bunuh. Tetapi Umar ketika itu mengatakan:

"Kenapa tidak kamu penjarakan dahulu dia selama tiga hari, kamu beri makan setiap hari dengan makanan yang enak-enak, mudah- mudahan dia bertobat.” Kemudian Umar berkata, ”Ya Allah saya tidak menghadiri eksekusi itu, saya tidak memerintahkannya, dan saya juga tidak rida dengan perlakuan tersebut.” (Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Malik, asy-Syafi‘i, dan Baihaki).

Cara bertobat tersebut, menurut para ahli fikih, harus dengan mengucapkan dua kalimat syahadat secara serius, serta menyatakan dirinya bebas dari segala bentuk yang membuatnya kafir. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa terlepas dari hukum wajib atau sunahnya mengajak orang murtad itu diajak kembali masuk Islam, maka ada tiga kelompok manusia yang tidak perlu ditunggu tobatnya, yaitu;

(a) Penyihir. Orang yang melakukan suatu sihir yang menyebabkan ia kafir, menurutnya, tidak perlu diminta tobat, tetapi langsung dibunuh. Hukuman penyihir, menurut Imam Malik, sama dengan hukuman orang zindik.

(b) Para zindik yang melakukan perbuatan mengkafirkan langsung dibunuh, sekalipun mereka menunjukkan tobat, karena sikap orang zindik itu di lua rnya Islam dan di batinnya kafir.

(c) Orang yang mencaci Rasulullah SAW. Mereka tidak diajak lagi untuk tobat, tetapi langsung dibunuh. Menurut Imam Malik, orang murtad seperti itu dibunuh bukan karena kekafirannya, tetapi karena perbuatan itu adalah perbuatan pidana yang hukumannya adalah dibunuh. Akan tetapi ulama Mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa zindik dan penyihir tetap diajak untuk tobat. Demikian juga halnya dengan orang-orang yang mencaci Rasulullah SAW.

Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali, orang-orang yang tidak diterima tobatnya adalah:
(a) Orang zindik, karena Allah SWT berfirman, "Kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan, dan menerangkan (kebenaran)...” (QS.2:160).

Untuk orang zindik, menurut mereka, tidak bisa diterka tobat mereka, karena sikap mereka di luar memang mengaku Islam dan batinnya tetap kafir.

(b) Orang yang berulangkali murtad. Menurut ulama Mazhab Hanbali, tidak diterima tobatnya, sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah an- Nisa ’ (4) ayat 137:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafiran-nya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.”
(c) Orang-orang yang mencaci Allah SWT dan Rasul-Nya juga tidak diterima tobatnya.

(d) Penyihir, juga tidak diterima tobatnya, karena Rasulullah SAW berkata: ”Hukuman bagi penyihir adalah hukuman pancung dengan pedang (dibunuh)” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud dari Samrah bin Jundab).

Ulama fikih mengatakan, apabila orang murtad bertobat secara sungguh-sungguh, maka hukuman bunuh gugur darinya, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan ad-Daruqutni dan Baihaki di atas.

Hukuman Mati (Bunuh)


Hukuman bagi orang murtad adalah dibunuh, apabila mereka tidak mau bertobat; termasuk orang- orang yang tidak diterima tobatnya yang dikemukakan ulama fikih di atas.

Hukuman bunuh ini, menurut kesepakatan ahli fikih, dilakukan oleh pemerintah atau yang mewakilinya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang mengatakan:

"Siapa saja yang menukar agamanya (dari Islam kepada kafir), maka kamu bunuhlah ia” (HR. Jamaah kecuali Muslim).

Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda:

”Tidak dihalalkan darah seorang muslim, kecuali dalam tiga hal, yaitu: orang yang pemah kawin melakukan zina, orang yang membunuh orang lain, orang yang keluar dari agamanya dan keluar dari kelompoknya” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abduliah bin Mas‘ud).

Timbul perbedaan pendapat tentang apakah hukuman murtad itu sama untuk laki-laki dan perempuan. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang yang murtad, baik laki-laki maupun perempuan, apabila tidak mau bertobat langsung dibunuh, sesuai dengan bunyi hadis-hadis di atas.

Akan tetapi, ulama Mazhab Hanafi berpendapat perempuan tidak dibunuh, tetapi dipenjarakan dan dipaksa untuk bertobat sekalipun sampai ia wafat di penjara. Alasan mereka adalah adanya larangan Rasulullah SAW untuk membunuh wanita (HR. Abu Dawud dan Hakim).

Hukuman pengganti bagi orang murtad yang telah tobat, menurut para ahli fikih, adalah merupakan hukuman takzir yang dikenakan hakim, sesuai dengan kemaslahatan yang menghendaki. Hukuman takzir yang dilaksanakan itu bisa berbentuk penahanan sementara, dera, denda, atau pencelaan dirinya.

Ulama Mazhab Hanafi juga menambah hukuman tambahan lain bagi wanita yang tidak mau bertobat, yaitu memenjarakannya sampai mati, karena menurut mereka wanita tidak boleh dibunuh. Menurut ulama Mazhab Maliki, hukuman pengganti bagi anak kecil yang murtad adalah penjara seumur hidup, kecuali apabila mereka bertobat.

Hukuman tambahan yang dikenakan kepada orang murtad, menurut ulama fikih ada dua bentuk, yaitu: menyita seluruh hartanya; dan hilangnya hak bertindak hukum.

Terhadap penyitaan harta orang murtad, terdapat perbedaan pendapat ulama fikih. Jumhur ulama fikih menyatakan bahwa seluruh harta orang murtad sejak ia menyatakan diri murtad dijadikan di bawah penguasaan hakim. Apabila ia bertobat, hartanya dikembalikan kepadanya, dan apabila ia tidak mau bertobat dari kekafirannya bahkan melarikan diri ke luar daerah Islam, maka seluruh hartanya yang ia peroleh sebelum murtad, menurut Imam Abu Hanifah, menjadi hak ahli warisnya dan dibagi sesuai dengan pembagian warisan masing-masing.

Sedangkan harta yang diperoleh orang murtad itu selama ia murtad diserahkan ke perbendaharaan negara. Ulama Mazhab Syafi‘i dan Maliki sependapat dengan Imam Abu Hanifah. Namun menurut mereka, harta itu tidak dibagi kepada ahli waris, tetapi menjadi milik bersama umat Islam, sama dengan harta rampasan perang dan diserahkan ke perbendaharaan negara, baik harta itu diperolehnya sebelum maupun dalam keadaan ia murtad.

Imam Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, dan ulama Mazhab Hanbali berpendapat bahwa harta orang murtad hanya berpindah tangan apabila orang murtad itu wafat. Apabila ia lari ke negeri non-Islam, menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, hartanya juga berpindah tangan kepada ahli warisnya.

Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Hanbali, hal tersebut tidak membuat ia kehilangan hartanya. Apabila orang itu wafat, menurut ulama Mazhab Hanbali hartanya sama statusnya dengan harta orang kafir, boleh diambil siapa saja yang mampu.

Hukuman tambahan lainnya bagi orang murtad adalah hilangnya beberapa hak bertindak hukum yang berkaitan dengan harta, yaitu ia tidak berhak mewarisi harta ahli warisnya yang wafat, seluruh tindakan hukumnya yang bersifat perdata dianggap tidak berlaku, sampai statusnya jelas.

Apabila ia tetap murtad, maka seluruh tindakan hukumnya dianggap batal. Akan tetapi, jika ia kembali masuk Islam, maka seluruh transaksi yang telah ia buat dianggap sah.

Demikian Hukum Murtad (Keluar dari Agama Islam) dalam Risalah Islam. Semoga Allah SWT memberi hidayah kepada orang murtad untuk kembali ke Islam dan tidak pernah murtad lagi. Semoga kiat sebagai Muslim diberi kekuatan iman dan tidak mati kecuali dalam keadaan beriman Islam. Amin...! (www.risalahislam.com).*

Sumber: Republika, Shahihain, Kuliah Al-Islam & Dien Al-Islam

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post