Kisah Abu Nawas Bertemu Lailatul Qodar

Kisah Abu Nawas Bertemu Lailatul Qodar
Perubahan Drastis Hidup Abu Nawas Terjadi setelah ia Bertemu Malam Lailatul Qodar.

ABU Nawas adalah sastrawan dan penyair humoris. Ia diyakini hidup masa pemerintahan Khilafah Abbasiyah (786-890 M), era pemerintahan Sultan Harun Al-Rasyid Al-Abassi, dan meninggal di Bagdhad tahun 810 M.

Abu Nawas dilahirkan di kota Al-Ahwaz, Persia, dan dibesarkan di Kota Basrah, Irak. Ia dikenal sebagai penyair cabul, amoral, dan pemabuk.

Abu Nawas yang bernama asli Abu Hani Muhammad bin Hakam ini sempat difatwa ”fasik” bahkan ”ateis” oleh ulama pada zamannya karena syair-syairnya yang amoral.

Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (14:73), ketika menyimpulkan tentang kehidupan Abu Nuwas beliau berkata:

“Kesimpulannya, para ulama banyak sekali menceritakan peristiwa kehidupannya, juga tentang syair-syairnya yang mungkar, penyelewengannya, kisahnya yang berhubungan dengan masalah khamr, kekejian, suka dengan anak-anak kecil yang ganteng serta kaum wanita sangat banyak dan keji, bahkan sebagian orang menuduhnya sebagai pezina. Di antara mereka juga ada yang menuduhnya sebagai seorang yang zindiq. Di antara mereka ada yang berkata: ‘Dia merusak dirinya sendiri.’ Hanya saja, yang tepat bahwa dia hanyalah melakukan berbagai tuduhan yang pertama saja, adapun tuduhan sebgian orang yang zindiq, maka itu sangat jauh dari kenyataan hidupnya, meskipun dia memang banyak melakukan kemaksiatan dan kekejian.”

Berkah Lailatul Qodar

Kehidupan Abu Nawas berubah total menjadi Islami, menurut suatu riwayat, setelah suatu malam pada bulan Ramadhan yang diyakini sebagai Malam Qodar (Lailatul Qadr), dalam keadaan “teler” ia didatangi seseorang tak dikenal.

Orang itu berkata:  
“Ya Abu Hani! Idza lam takun milhan tuslih, fala takun zubabatan tufsid” 

(Hai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikan merusak hidangan itu).

Kata-kata itu sangat berkesan pada diri Abu Nawas. Ia menyadari kesalahannya selama ini, merasa dirinya bukan garam, tapi lalat. Ia pun bertobat dan meninggalkan perilaku tidak Islaminya. Ia menjadi seorang ahli ibadah, rendah hati, rajin i’tikaf di masjid, dan jarang berbicara.

Sejak itu, Abu Nawas meninggalkan syair-syair jahiliyahnya. Ia pun menulis syair yang sangat terkenal hingga saat ini, yaitu Al-I'tiraf (Pengakuan) atau permohonan ampun, sebagai berikut:

*اِلهَِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاََ * وَلاَ أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ*

Ilahii lastu lil-firdausi ahlan * Wa laa aq-wa ‘alan-naaril-jahiimi
Ya Rabb, hamba memang tak layak memasuki surga-Mu * Tapi hamba juga tak akan sanggup memasuki neraka-Mu

*فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِيْ * فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ*

Fa hab-li taubatan wagh-fir dzunuubi * Fa innaka ghoofiruz-dzambil-‘azhiimi
Maka terimalah taubat hamba ya Rabb, dan ampunilah segala dosa hamba * Sesungguhnya hanya Engkau yang bisa mengampuni dosa-dosa yang besar

*ذُنُوْبِيْ مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ * فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً يَا ذَا الْجَلاَلِ*

Dzunuubii mist-lu ‘adaadir-rimaali * Fa hab-li taubatan Ya Dzal Jalaali
Banyaknya dosa-dosa hamba bagai butiran pasir di pantai * Maka terimalah taubat hamba Duhai Tuhan Yang Maha Tinggi

*وَعُمْرِيْ نَاقِصٌ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ * وَذَنْبِيْ زَآئِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِىْ*

Wa umri naaqishun fi kulli yaumi * wa dzunuubi za-‘idun kaifah-timaali
Sesungguhnya umur hamba selalu berkurang setiap hari * Tetapi justru dosa-dosa hamba bertambah setiap hari

*اِلهَِيْ عَبْدُكَ الْعَاصِي أَتَاكَ * مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ*

Ilahii ‘abdukal-‘aashi ataaka * Muqiron biz-dzunuubi wa qod da-‘aaka
Ya Tuhanku, hamba-Mu yang yang sering melakukan maksiat ini datang kepada-Mu * Hamba yang senantiasa berbuat dosa, dan sesungguhnya hamba memohon kepada-Mu

*فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَاكَ أَهْلُ * وَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُوْ سِوَاكَ*

Fa-in tagh-fir fa anta lidzaa-ka ahlun * Wa in tath-rud fa man yarju siwaaka
Andai Kau beri ampunan kepada hamba maka itu adalah hak-Mu * Tapi jika Engkau meninggalkan hamba, maka kepada siapa lagi kami berharap.



Itulah berkah pertemuan dengan Lailatul Qadr --malam yang lebih baik dari seribu bulan, nilai ibadah malam itu sama dengan seribu bulan, hanya ada pada salah satu malam di sepuluh terakhir Ramahan. Wallahu a’lam bish-shawabi. (http://www.risalahislam.com).*

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post