Tiga Cara (Metode) Dakwah - Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nahl Ayat 125

Metode dakwah adalah cara atau wasilah (perantara) dalam menyampaikan seruan dan ajakan ke jalan Allah SWT (syariat Islam).

metode dakwah
Ilustrasi metode dakwah. Foto: hidayatullah.com.*


Metode dakwah terangkum dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 125:


ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."

Ayat di atas menunjukkan tiga metode yang menjadi dasar dakwah yaitu:

1. Hikmah.

Hikmah yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitikberatkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya mereka tidak lagi merasa terpaksa atau keberatan.

2. Mauidhah hasanah

Mauidhah hasanah adalah berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat atau menyampaikan ajaran Islam dengan rasa kasih sayang, lemah-lembut, sopan, santun, sehingga nasihat dan ajaran Islam yang disampaikan itu dapat menyentuh hati mereka.

3. Mujadalah

Mujadalah yaitu berdakwah dengan cara dialog, bertukar pikiran, dan membantah dengan cara sebaik-baiknya, argumentasi yang kuat, mengemuakan dalil aqli (logika) dan naqli (nash Quran dan hadits), dengan tidak memberikan tekanan-tekanan dan tidak pula dengan menjelekkan yang menjadi mitra dakwah.

Tafsir QS An-Nahl:125

Tafsir Kementrian Agama RI:

Dalam ayat ini (QS 16:125) Allah Subhanahu wa ta’ala (SWT) memberikan pedoman kepada Rasul-Nya tentang cara mengajak manusia (dakwah) ke jalan Allah.

Yang dimaksud "jalan Tuhanmu (Allah)" (sabili robbika) di sini ialah agama Allah yakni syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Allah SWT dalam ayat ini meletakkan dasar-dasar dakwah untuk pegangan bagi umatnya di kemudian hari dalam mengemban tugas dakwah.

Pertama
, Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa sesungguhnya dakwah ini adalah dakwah untuk agama Allah sebagai jalan menuju rida Ilahi. Bukanlah dakwah untuk pribadi dai (yang berdakwah) ataupun untuk golongannya dan kaumnya.

Rasulullah Saw diperintahkan untuk membawa manusia ke jalan Allah dan untuk agama Allah semata-mata.

Kedua, Allah SWT menjelaskan agar dakwah itu dengan hikmah. Hikmah itu mengandung beberapa arti:

a. Pengetahuan tentang rahasia dari faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan itu sesuatu dapat diyakini keadaannya.

b. Perkataan yang tepat (efektif) dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang batal atau syubhat (meragukan).

c. Kenabian mengetahui hukum-hukum Alquran, paham Alquran, paham agama, takut kepada Allah, benar perkataan dan perbuatan.

Artinya yang paling tepat dan dekat kepada kebenaran ialah arti yang pertama yaitu pengetahuan tentang rahasia dan faedah sesuatu, yang mana pengetahuan itu memberi manfaat.

Dakwah dengan hikmah adalah dakwah dengan ilmu pengetahuan yang berkenan dengan rahasia, faidah, dan maksud dari wahyu Ilahi, suatu pengetahuan yang cukup dari da'i, tentang suasana dan keadaan yang meliputi mereka, pandai memilih bahan-bahan pelajaran agama yang sesuai dengan kemampuan daya tangkap jiwa mereka, sehingga mereka tidak merasa berat dalam menerima ajaran agama, dan pandai pula memilih cara dan gaya menyajikan bahan-bahan pengajian itu, sehingga umat mudah menerimanya.

Ketiga, Allah SWT menjelaskan kepada Rasul agar dakwah itu dilakukan dengan metode pengajaran yang baik (mauidhah hasanah), yang diterima dengan lembut oleh hati manusia, tapi berkesan di dalam hati mereka.

Tidaklah patut jika pengajaran dan pengajian itu selalu menimbulkan pada jiwa manusia rasa gelisah cemas dan ketakutan.

Orang yang jatuh karena dosa, disebabkan jahilnya atau tanpa kesadaran, tidaklah wajar kesalahan-kesalahannya itu dipaparkan secara terbuka sehingga menyakitkan hatinya.

Khotbah atau pengajian yang disampaikan dengan bahasa yang lemah lembut, sangat baik untuk menjinakkan hati yang liar dan lebih banyak memberikan ketenteraman daripada khutbah dan pengajian yang isinya ancaman dan kutukan-kutukan yang mengerikan.

Jika pada tempat dan waktunya, tidaklah ada jeleknya memberikan pengajaran pengajian yang berisikan peringatan yang keras atau tentang hukuman-hukuman dan azab-azab yang diancamkan Tuhan kepada mereka yang sengaja berbuat dosa (tarhib).

Untuk menghindari kebosanan dalam pengajiannya, Rasulullah Saw menyisipkan dan mengolah bahan pengajian yang menyenangkan, dengan bahan yang menimbulkan rasa takut.

Dengan demikian tidak terjadi kebosanan yang disebabkan urutan-urutan pengajian yang berisi perintah dan larangan tanpa memberikan bahan pengajian yang melapangkan dada atau yang merangsang hati untuk melakukan ketaatan dan menjauhi larangan.

Keempat, Allah SWT menjelaskan, jika terjadi perbantahan atau perdebatan, maka hendaklah melakukan bantahan dengan argumentasi atau perbantahan yang baik.

Tidaklah baik memancing lawan dalam berdebat dengan kata yang tajam, karena hal demikian menimbulkan suasana yang panas. 

Sebaliknya, hendaklah diciptakan suasana nyaman dan santai sehingga tujuan dalam perdebatan untuk mencari kebenaran itu dapat tercapai dengan hati yang puas.

Suatu perdebatan yang baik ialah perdebatan yang dapat menghambat timbulnya sifat jiwa manusia yang negatif seperti sombong, tinggi hati, tahan harga diri, sifat-sifat tersebut sangat peka.

Lawan berdebat supaya dihadapi demikian rupa sehingga dia merasa bahwa harga dirinya dihormati, dan dai menunjukkan bahwa tujuan yang utama ialah menemukan kebenaran kepada agama Allah SWT.

Kelima, Allah SWT menjelaskan ketentuan akhir dan segala usaha dan perjuangan itu pada Allah. Hanya Allah sendiri yang menganugerahkan iman kepada jiwa manusia, bukanlah orang lain ataupun dai itu sendiri.

Tafsir al-Jalalain:

(Serulah) manusia, hai Muhammad (kepada jalan Rabbmu) yakni agama-Nya (dengan hikmah) dengan Alquran (dan pelajaran yang baik) pelajaran yang baik atau nasihat yang lembut (dan bantahlah mereka dengan cara) bantahan (yang baik) seperti menyeru mereka untuk menyembah Allah dengan menampilkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran-Nya atau dengan hujah-hujah yang jelas.

(Sesungguhnya Rabbmu Dialah Yang lebih mengetahui) Maha Mengetahui (tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk) maka Dia membalas mereka, ayat ini diturunkan sebelum diperintahkan untuk memerangi orang-orang kafir.

Dan diturunkan ketika Hamzah gugur dalam keadaan tercincang, ketika Nabi Saw melihat keadaan jenazahnya, lalu beliau Saw bersumpah melalui sabdanya, “Sungguh aku bersumpah akan membalas tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu.”

Tafsir al-Muyassar
(Mujamma’ Raja Fahd arahan Syaikh al-Allamah Dr. Shalih bin Muhammad Alu asy-Syaikh)

Berdakwahlah, wahai Rasul, yakni Kami dan pengikutmu, kepada agama Rabbmu dan jalan-Nya yang lurus, dengan cara bijak yang Allah wahyukan kepadamu dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Berbicaralah kepada manusia dengan metode yang cocok bagi mereka, dan nasihatilah mereka dengan nasihat yang baik, menjadikan mereka senang dengan kebaikan dan membuat mereka menyingkir dari keburukan.

Debatlah mereka dengan metode debat yang terbaik, yaitu santun dan lemah lembut. Karena tugasmu hanyalah menyampaikan, dan kamu telah menyampaikan.

Adapun memberi hidayah kepada mereka, maka ini wewenang Allah semata. Dia lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Tafsir Ibnu Katsir:

Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya —Nabi Muhammad Saw-- agar menyeru manusia untuk menyembah Allah dengan cara yang bijaksana.

Ibnu Jarir mengatakan, yang diserukan kepada manusia ialah wahyu yang diturunkan kepadanya berupa Al-Qur’an, Sunnah, dan pelajaran yang baik, yakni semua yang terkandung di dalamnya berupa larangan-larangan dan kejadian-kejadian yang menimpa manusia (di masa lalu).

Pelajaran yang baik itu agar dijadikan peringatan buat mereka akan pembalasan Allah SWT (terhadap mereka yang durhaka).

Firman Allah subhanahu wa ta’ala.: …dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Yakni terhadap orang-orang yang dalam rangka menyeru mereka diperlukan perdebatan dan bantahan.

Maka hendaklah hal ini dilakukan dengan cara yang baik, yaitu dengan lemah lembut, tutur kata yang baik, serta cara yang bijak.

Ayat ini sama pengertiannya dengan ayat lain yang disebutkan oleh firman-Nya:

"Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka. (Al-‘Ankabut: 46), hingga akhir ayat.

Allah SWT memerintahkan Nabi Saw untuk bersikap lemah lembut, seperti halnya yang telah Dia perintahkan kepada Musa dan Harun, ketika keduanya diutus oleh Allah kepada Fir’aun, yang kisahnya disebutkan oleh Allah melalui firman-Nya:

"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut" (QS Thaahaa:44)

Firman Allah : Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya., hingga akhir ayat.

Maksudnya, Allah telah mengetahui siapa yang celaka dan siapa yang berbahagia di antara mereka, dan hal tersebut telah dicatat di sisi-Nya serta telah dirampungkan kepastiannya.

Maka serulah mereka untuk menyembah Allah, dan janganlah kamu merasa kecewa (bersedih hati) terhadap orang yang sesat di antara mereka.

Karena sesungguhnya bukanlah tugasmu memberi mereka petunjuk. Sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan, dan Kamilah yang akan menghisab.

Demikian Tiga Cara (Metode) Dakwah - Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nahl Ayat 125. Wallahu a'la bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post