Makna Mudik Bukan Sekadar Pulang ke Udik

Makna Mudik: Tak Sekadar Pulang ke Udik

MUDIK menjadi tradisi tahunan kita setiap kali akhir Ramadhan menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Makna Mudik Bukan Sekadar Pulang ke Udik.

Secara bahasa, mudik artinya (1) (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman); (2) pulang ke kampung halaman (KBBI).

Mudik seolah menjadi sesuatu yang wajib. Tradisi mudik merupakan salah satu budaya bangsa Indonesia.

Demi mudik, kita rela meluangkan waktu berjam-jam, berhari-hari, mungkin juga berminggu-minggu, untuk menempuh perjalanan jauh agar dapat menemui orangtua dan kerabat di kampung halaman atau tanah kelahiran.

Demi mudik, kita rela menempuh jerih-payah perjuangan dalam antrean panjang berjam-jam, bahkan berhari-hari, demi tiket Kereta Api atau bus. 

Pemudik rela pula –atau terpaksa— berdesakan dalam kendaraan, tersiksa dalam perjalanan, bersabar –atau berkeluh-kesah— dalam kemacetan arus lalu lintas, bahkan terkesan kurang mempedulikan keselamatan.

Seolah-olah semuanya tidak berarti dibandingkan dengan kegembiraan merayakan “hari kemenangan” setelah berpuasa Ramadhan, keriangan akan berjumpa dengan sanak keluarga dan teman masa kecil, menikmati kembali suasana damai masa kecil dan suasana “alami” kampung halaman.

Mudik Tak Ada dalam Islam

Dalam ajaran Islam, tidak ada perintah (wajib) atau sekadar anjuran (sunah) untuk mudik, dalam pengertian pulang ke kampung halaman saat lebaran.

Jadi, mudik tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam, karena tidak ada satu perintahpun baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah, setelah menjalankan ibadah Ramadhan harus melakukan acara silaturahmi untuk kangen-kangenan dan maaf-maafan, karena silaturahmi bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan dan kondisi.

Namun demikian, mudik sangat baik dalam konteks silaturahmi sebagaimana ajaran Islam.

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ

“Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim”. (QS. An Nisa’:1).

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kerabat.”. (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud).

Makna Mudik

Secara bahasa, “mudik” artinya “menuju udik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), “udik” antara lain berarti desa, dusun, kampung (lawan kota). Karena itu, mudik disebut pula “pulang kampung”.

Jika ditelaah lebih dalam, ada makna yang sangat mendalam dari tradisi mudik ini, yakni semangat “kembali ke asal” (fitrah). Secara psikologis, “udik” (kampung halaman) adalah tempat, ruang dan waktu yang masih murni, bersih, religius, dan belum dikotori oleh polusi peradaban materialis kota.

Ketika kita mudik, kita akan merasakan kedamaian suasana udik, kampung halaman asal kita, jauh dari “kejamnya” kehidupan di kota. Kota adalah tempat kerja, mencari uang, mengejar cita-cita duniawi, berupa kekayaan ataupun popularitas dan jabatan. 

Ketika semua diperoleh, “udik” memanggilnya untuk memberikan kedamaian dan ketenangan.

Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun dalam bukunya Sedang Tuhan pun Cemburu (1994) menulis, orang beramai-ramai mudik itu sebenarnya sedang setia kepada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya.

Tujuan utama mudik adalah silaturahmi atau silaturahim.

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya dan ditambah umurnya, maka hendaklah melakukan silaturrahmi”. (HR Muslim dan Abu Daud).

Mudik Abadi

Mudik sebenarnya mencerminkan kerinduan kita, manusia, yang luar biasa pada asal- muasalnya. Karena asal-muasal kita yang hakiki adalah Allah Swt, maka mudik ini sebenarnya merupakan sebuah bentuk kecil dari kerinduan kita yang luar biasa kepada Allah Swt.

Pada gilirannya nanti, kita pun akan melakukan “mudik” yang abadi, meninggalkan dunia ini, kembali ke hadirat Ilahi.

Dengan mudik, kita sudah merasakan keindahan kembali ke tempat asal (kampung halaman). Demikian pula “mudik” kepada fitrah, yakni iman-Islam, jiwa tauhid, atau syariat Islam sebagai pedoman hidup.

Islam adalah “kampung halaman” kita, tempat kita menikmati dan menjalani hidup sesuai dengan aturan Allah Swt.

Semoga perjuangan berat menuju mudik, kita lakukan pula dengan ikhlas untuk “mudik abadi” menuju alam akhirat, asal-musal kita, yakni Allah Swt.

Jika untuk mudik ke kampung halaman kita rela berkorban apa saja, maka demikian pula hendaknya ketika kita “mudik” ke hadirat Allah Swt kelak. 

Kita harus rela berkorban jiwa dan harta, tenaga dan pikiran, demi tegaknya syariat Islam, agar saat kita “mudik” ke tempat asal kita, yang memiliki kita, yakni Allah Swt, kita diterima di sisi-Nya. 

Demikia Makna Mudik Bukan Sekadar Pulang ke Udik. Wallahu a’lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post