Keutamaan Bulan Syawal, Amalan Sunah, Amaliah Pasca Ramadhan

Amalan Sunah Bulan Syawal

Puasa Sunah Enam Hari adalah Amalan Sunah Bulan Syawal sebagai penyempurna Ibadah Ramadhan. Selain itu, ada hahal bihalal, silaturahmi, dan menjaga fitrah. Keutamaan Bulan Syawal adalah ia bulan silaturahmi, halal bihalal, diawali dengan Idul Fitri tanggal 1 Syawal.

DALAM sebuah cerita imaginer, disebutkan Syawal marah kepada umat Islam. Pasalnya, kaum Muslim sangat gembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan, yakni merayakan lebaran Idul Fitri 1 Syawal.

Syawal marah karena umat Islam yang selama Ramadhan rajin ibadah, meninggalkan maksiat, justru kembali malas ibadah dan berbuat dosa di bulan Syawal. 

Padahal, Syawal adalah bulan peningkatan, dari arti harfiyah "syawal" yakni "meningkat" --meningkatkan ibadah sebagai hasil "latihan" selama bulan Ramadhan.

Amalan Sunah Bulan Syawal: Puasa Sunah Enam Hari

Tampaknya, Syawal tidak akan terlalu marah jika kita, kaum Muslim, melaksanakan amalan sunah bilan Syawal.

Setelah bulan Ramadhan berlalu, semua amaliah khas Ramadhan –mulai puasa, sholat tarawih, hingga i’tikaf memburu malam seribu bulan, serta zakat fitrah– kita tinggalkan.

Idul Fitri menutup semua amaliah Ramadhan dengan keyakinan kita kembali pada fitrah, baik fitrah dalam pengertian futhur (berbuka) atau tidak puasa lagi, maupun dalam pengertian fitrah manusia yang bersih, suci, tanpa dosa, dan hanief (cenderung pada kebenaran) serta berjiwa tauhid.

Bagaimana amaliah pasca Ramadhan hingga bertemu lagi dengan Ramadhan berikutnya –jika Allah memberi kita panjang umur?

Secara syariat, amaliah pasca Ramadhan antara lain Puasa Sunah Enam hari di bulan Syawal untuk menyempurnakan shaum Ramadhan

Puasa enam hari bulan Syawal –biasa disebut “nyawalan”, adalah penyempurna shaum Ramadhan. Seperti diriwayatkan oleh jamaah ahli hadis, kecuali Bukhari dan Nasa’i, dari Abu Aiyub al-Anshari, Roasulullah Saw bersabda:

“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan diiringinya dengan enam hari bulan Syawal, maka seolah-olah ia telah berpuasa sepanjang masa.” 

Halal Bihalal

Halal bihalal bukan amalan sunah karena secara istilah tidak tercantum dalam syariat Islam.


Halal Bihalal adalah istilah khas Muslim Indonesia dalam mengisi Hari Raya Idul Fitri, yakni saling memaafkan di antara keluarga, kerabat, tertangga, sahabat, teman kerja, klien, dan sebagainya.


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, maaf-memaafkan sama arti dengan Halal Bihalal.

Istilah Halal Bihalal sendiri bukan dari Al-Quran atau Hadits, bahkan bukan pula berasal dari negeri Arab. Halal Bihalal adalah khas Indonesia. Mungkin hanya orang Indonesia yang memahami makna Halal bihalal ini.

Halalbihalal sering diartikan dengan ”saling menghalalkan” atau ”saling membebaskan”. Intinya, saling memaafkan kesalahan. Sebenarnya, Halal bihalal tidak usah dibatasi waktunya pada saat Idul Fitri, tetapi setiap saat serta menyangkut segala aktivitas manusia. Walaupun harus diakui, bahwa acara maaf-memaafkan sangat sesuai dengan hakikat Idul Fitri.


Silaturahmi

Maaf-memaafkan dan hahal bihahal hakikatnya adalah silaturahmi atau silaturrahim (shilah al-rahim). Silaturahim terdiri dari kata shilah –yang terambil dari akar kata washala yang berarti menyambung– dan ar-rahim yang pada mulanya berasal dari nama Allah, lalu diberikannya kepada makhluk untuk menunjuk pada sesuatu yang menjadi penyebab kasih-sayang, yakni “rahim/peranakan”.

Walaupun dalam Al-Quran tidak terdapat istilah shilaturrahim, namun ada sekian ayat yang mengisyaratkan pentingnya memelihara shilaturrahim, seperti QS Al-Nisâ’ (4): 1.

“Bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain (dan peliharalah hubungan) rahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Di samping perintah di atas, ada juga ayat yang mengecam orang-orang yang memutuskannya, seperti:

"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya pula mata mereka” (QS Muhammad [47]: 22-23).

Memelihara Fitrah

Setelah bermaaf-maafan, hahal bihahal, silaturahmi, bahkan berjuang untuk mudik, idealnya keadaan diri kita kembali kembali suci, bersih, dan kembali pada fitrah sebagai manusia beriman, berjiwa tauhid, hanya mengabdikan diri pada Allah Swt.

Lalu, apakah setelah itu kita mengikuti “arus balik”, berupa kembali kepad kehidupan yang kotor, hanya mengejar dunia, dan melupakan semangat ibadah yang begitu menggebu selama bulan Ramadhan? Tentu idealnya tidak demikian. Harusnya, atmosfer Ramadhan dapat kita pertahanan.

Imam Syafi’i pernah berpesan, “Idul Fitri bukanlah diperuntukkan bagi orang yang mengenakan sesuatu yang serba baru, tetapi dipersembahkan bagi orang yang ketaatannya bertambah”.

Pasca Ramadhan adalah lembaran baru kehidupan sebagai orang yang bertakwa –sebagaimana tujuan puasa Ramadhan adalah menjadi orang bertakwa. Jika selama Ramadan di rumah kita terdengar ayat-ayat suci Alquran yang dibaca oleh seisi rumah, maka suasana itu mestinya terus dapat dipertahankan.

Jika kita sudah kembali ke fitrah (idulfitri), berarti kita berjiwa tauhid yang selalu cenderung pada kebenaran Ilahi (hanief). Jiwa tauhid melahirkan semangat ibadah, dakwa, dan jihad untuk menegakkan syariat Islam dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Ringkasnya, kembali pada fitrah, berarti kembali pada syariat Islam.

Demikianlah amaliah sunah bulan syawal alias amalan pasca Ramadhan. Yang utama adalah meningkatkan ibadah dan memelihara kesucian jiwa (fitrah) yang cenderung pada kebenaran saja (hanief). Wallahu a'lam bish-shawabi. (http://www.risalahislam.com).*

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post