Hukum Piknik, Berlibur, atau Berwisata dalam Islam

Hukum Piknik, Berlibur, atau Berwisata dalam Islam

Akhir pekan atau hari libur identik dengan piknik, liburan, atau pergi ke tempat wisata. Bagaimana Hukum Piknik, Berlibur, atau Berwisata dalam Islam?


Dilansir Republika, Guru besar Agama Islam IPB, Prof KH Didin Hafidhuddin, di dalam Islam berlibur atau liburan masuk ke dalam ranah mubah atau dibolehkan. Selama liburan tersebut ada manfaatnya. 


"Misalnya berlibur untuk melihat keindahan alam ciptaan Allah SWT di suatu daerah," ujarnya.


Ia juga menekankan, berlibur untuk melihat peninggalan sejarah masa lampau untuk dijadikan pelajaran (ibrah) merupakan hal yang baik. Sambung dia, hal tersebut juga tercantum sebagaimana dalam Surat Ali Imran ayat 137 yang mengatakan. 


قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ


"Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS Ali Imran Ayat 137).


Prof Didin memaparkan, berlibur atau refresing juga perlu untuk sejenak terlepas dari masalah dan pikiran sehari-hari. Sebab, hal tersebut memang mampu memberikan kebutuhan tersendiri. 


Bahkan menurut dia, Nabi Muhammad juga menganjurkan berlibur untuk memperhatikan tubuh kita, mata dan lainnya. Oleh karena itu, dengan berlibur melepas penat sendiri atau bersama keluarga merupakan hal yang bagus untuk memperhatikan tubuh. 


Ketika ditanya terkait liburan di masa peradaban Islam lampau, ia tidak menampik perubahan yang ada dengan masa sekarang. 


Saat ini orang dimanjakan dengan berbagai kemudahan, dapat berlibur dengan tenggang waktu yang disesuaikan ke suatu tempat dengan mudah dan tanpa kendala atau permasalahan majemuk saat ini. Dengan adanya perubahan tersebut, tentu dinilai positif. 


Islam juga menganjurkan untuk melihat keindahan hamparan dunia dan mempelajari maknanya. Seperti dalam Surat Al Mulk ayat 15 yang berbunyi. 


هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ


"Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan".


Piknik Menurut Al-Qur'an

Ditemukan tidak kurang dari tujuh ayat Alquran yang mengaitkan langsung perintah memandang itu dengan perjalanan. Salah satunya yaitu, “Berjalanlah di bumi dan lihatlah”  (QS Al-An’am [6]: 11).


Dengan berwisata sesuai ajaran Islam, kita akan mendapatkan banyak manfaat. Seperti yang dijelaskan dalam riwayat yang didendangkan oleh Sayyidina Ali atau Imam Syafi’i, bahwa setidaknya ada 5 manfaat yang dapat diperoleh dari berwisata. Berikut bunyi riwayat tersebut:


“Tinggalkan negeri untuk meraih kejayaan dan berwisatalah karena di sana ada lima manfaat, yaitu mengenyahkan gelisah, meraih kehidupan, ilmu, adab, dan pertemanan dengan yang jaya. Kalau ada yang berkata: Dalam bepergian, ada kehinaan dan cobaan atau kesulitan menempuh jalan dan memikul beban, maka ketahuilah bahwa kematian lebih baik dari pada kehidupan di satu negeri yang hina di antara pembohong dan pengiri,” kata dia seperti dikutip dari buku Kumpulan 101 Kultum tentang Islam oleh M. Quraish Shihab.


Berdasarkan hal itu, tidak keliru jika ditegaskan bahwa agama menganjurkan setiap orang untuk menyisihkan sebagin masa hidupnya, tenaganya, pikiran, dan uangnya untuk berwisata. “Berwisatalah Anda akan menemukan ganti dari apa yang Anda tinggalkan,” kata Quraish Shihab.

Tujuan Wisata dalam Islam

Mengutip Islamqa tentang hakikat wisata, dalam Islam dikenal istilah siyaahah yang bermakna bepergian ke segenap penjuru bumi (adz-dzihaab fi al-ardh), safar atau perjalanan (travelling), dan/atau wisata (tourism). 


Wisata dalam konsep Islam harus meningkatkan keimanan dengan menafakuri kebesaran Allah Swt. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw menegaskan: 

“Sesunguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR. Abu Daud).


Dalam pemahaman Islam, wisata juga dikaitkan dengan ilmu dan pengetahuan. Pada masa permulaan Islam, telah ada perjalanan sangat agung dengan tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya. 


Al-Khatib Al-Bagdady menulis kitab Ar-Rihlah Fi Tolabil Hadits berisi kisah orang yang melakukan perjalanan hanya untuk mendapatkan dan mencari satu hadits.


Di antara maksud wisata dalam Islam adalah mengambil pelajaran dan peringatan. Dalam Al-Qur’an  terdapat perintah untuk berjalan di muka bumi di beberapa tempat


“Katakanlah: 'Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (QS. Al-An’am: 11)


Dalam ayat lain, “Katakanlah: 'Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.” (QS. An-Naml: 69)


Al-Qasimi rahimahullah berkata; ”Mereka berjalan dan pergi ke beberapa tempat untuk melihat berbagai peninggalan sebagai nasihat, pelajaran dan manfaat lainnya." (Mahasinu At-Ta’wil, 16/225)


Di antara maksud mulia dari wisata dalam Islam adalah berdakwah. Itulah tugas para Rasul dan para nabi dan orang-orang setelah mereka dari kalangan para shahabat. 


Para shabat Nabi Saw telah menyebar ke ujung dunia untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia, mengajak mereka kepada Islam.


Yang terakhir dari pemahaman wisata dalam Islam adalah safar (travelling) untuk merenungi keindahan ciptaan Allah Ta’la, menikmati indahnya alam nan agung sebagai pendorong jiwa manusia untuk menguatkan keimanan terhadap keesaan Allah dan memotivasi menunaikan kewajiabn hidup. Karena refreshing jiwa perlu untuk memulai semangat kerja baru. 


قُلْ سِيرُوا فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ 


Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Ankabut: 20).

Aturan wisata dalam Islam

Dalam ajaran Islam terdapat hukum yang mengatur dan mengarahkan wisata. Di antara hukum-hukum itu adalah:


1. Mengharamkan safar dengan maksud mengagungkan tempat tertentu kecuali tiga masjid. 


Dari  Abu Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu’alai wa sallam bersabda:


لا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى 


“Tidak dibolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasulullah sallallahu’alaihi wa saal dan Masjidil Aqsha." (HR Bukhari dan Muslim)


Hadits ini menunjukkan larangan promosi wisata yang dinamakan "wisata religi" ke selain tiga masjid, seperti ajakan mengajak wisata ziarah kubur, menyaksikan tempat-tempat  peninggalan kuno, terutama peninggalan yang diagungkan manusia, sehingga mereka terjerumus dalam berbagai bentuk kesyirikan yang membinasakan. 


Dalam ajaran Islam tidak ada pengagungan pada tempat tertentu dengan menunaikan ibadah di dalamnya sehingga menjadi tempat yang diagungkan selain tiga tempat tadi.


Abu Hurairah r.a. berkata, "Aku pergi Thur (gunung Tursina di Mesir), kemudian aku bertemu Ka’b Al-Ahbar, lalu duduk bersamanya, lalu beliau menyebutkan hadits yang panjang,  kemudian berkata, "Lalu aku bertemu Bashrah bin Abi Bashrah Al-Ghifary dan berkata, "Dari mana kamu datang?" Aku menjawab, "Dari (gunung) Thur."  Lalu beliau mengatakan, "Jika aku  menemuimu sebelum engkau keluar ke sana, maka (akan melarang) mu pergi, karena aku mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Jangan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, ke Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjid Iliyya atau Baitul Maqdis." (HR Malik dan Nasa’i).


Maka tidak dibolehkan memulai perjalanan menuju tempat suci selain tiga tempat ini. Hal  itu  bukan berarti dilarang mengunjungi masjid-masjid, karena kunjungan ke sana dibolehkan, bahkan dianjurkan. 


Akan tetapi yang dilarang adalah melakukan safar dengan niat seperti itu. Kalau ada tujuan lain dalam safar, lalu diikuti dengan berkunjung ke (masjid), maka hal itu tidak mengapa. Bahkan terkadang diharuskan untuk menunaikan jum’at dan shalat berjamaah. 


Yang keharamannya lebih berat adalah apabila kunjungannya ke tempat-tempat suci agama lain. Seperti pergi mengunjungi Vatikan atau patung Budha atau  lainnya yang serupa.


2. Larangan wisata ke negara kafir.


Ada juga dalil yang mengharamkan wisata seorang muslim ke negara kafir secara umum. Alasannya, hal itu berdampak buruk terhadap agama dan akhlak seorang muslim, akibat bercampur dengan kaum yang tidak mengindahkan agama dan akhlak. 


Khususnya jika tidak ada keperluan dalam safar tersebut, seperti untuk berobat, berdagang (bisnis), atau semisalnya, kecuali cuma sekadar bersenang-senang dan rekreasi. Sesungguhnya Allah telah menjadikan negara muslim memiliki keindahan penciptaan-Nya, sehingga tidak perlu pergi ke negara orang kafir.


Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Tidak boleh Safar ke negara kafir, karena ada kekhawatiran terhadap akidah, akhlak, akibat bercampur dan menetap di tengah  orang kafir  di antara mereka. Akan tetapi kalau ada keperluan mendesak dan tujuan yang benar untuk safar ke negara mereka seperti safar untuk berobat yang tidak ada di negaranya atau safar untuk belajar yang tidak didapatkan di negara muslim atau safar untuk berdagang, kesemuanya ini adalah tujuan yang benar, maka dibolehkan safar ke negara kafir dengan syarat menjaga syiar keislaman dan memungkinkan melaksanakan agamanya di negeri mereka. Hendaklah seperlunya, lalu kembali ke negeri Islam. Adapun kalau safarnya hanya untuk wisata, maka tidak dibolehkan. Karena seorang muslim tidak membutuhkan hal itu serta tidak ada manfaat yang sama atau yang lebih kuat dibandingkan dengan bahaya dan kerusakan pada agama dan keyakinan." (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan).


3. Larangan wisata ke tempat maksiat.


Islam melarang umatnya berwisata ke tempat-tempat rusak yang terdapat minuman keras, perzinaan, berbagai kemaksiatan seperti di pinggir pantai yang bebas dan acara-acara bebas dan tempat-tempat kemaksiatan. 


Juga diharamkan safar untuk mengadakan perayaan bid’ah. Karena seorang muslim diperintahkan untuk menjauhi kemaksiatan maka jangan terjerumus (kedalamnya) dan jangan duduk dengan orang yang melakukan itu.


Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan: “Tidak diperkenankan bepergian ke tempat-tempat kerusakan untuk berwisata. Karena hal itu mengundang bahaya terhadap agama dan akhlak. Karena ajaran Islam datang untuk menutup peluang yang menjerumuskan kepada keburukan." (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah).


4. Wisata Sejarah


Berkunjung ke bekas peninggalan umat terdahulu dan situs-situs kuno, jika itu adalah  bekas tempat turunnya azab, atau tempat suatu kaum dibinasakan sebab kekufurannya kepada Allah Swt, maka tidak dibolehkan menjadikan tempat ini sebagai tempat wisata dan hiburan.


Para Ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya, ada di kota Al-Bada di provinsi Tabuk terdapat peninggalan kuno dan rumah-rumah yang diukir di gunung. Sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah tempat tinggal kaum Nabi Syu’aib alaihis salam. 


Pertanyaannya adalah, apakah ada dalil  bahwa ini adalah tempat tinggal kaum Syu’aib –alaihis salam- atau tidak ada dalil akan hal itu? Apa hukum mengunjungi tempat purbakala itu bagi orang yang bermaksuk untuk sekadar melihat-lihat dan bagi yang bermaksud mengambil pelajaran dan nasehat?


Mereka menjawab: “Menurut ahli sejarah dikenal bahwa tempat tinggal bangsa Madyan yang  diutus kepada mereka Nabiyullah Syu’aib alaihis shalatu was salam berada di arah barat daya  Jazirah Arab yang sekarang dinamakan Al-Bada dan sekitarnya. Wallahu’alam akan kebenarannya. Jika itu benar, maka tidak diperkenankan berkunjung ke tempat ini dengan tujuan sekedar  melihat-lihat. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika melewati Al-Hijr, yaitu tempat tinggal  bangsa Tsamud (yang dibinasakan) beliau bersabda: “Janganlah  kalian memasuki tempat tinggal orang-orang yang telah menzalimi dirinya, khawatir kalian tertimpa seperti yang menimpa mereka, kecuali kalian dalam kondisi manangis. Lalu beliau menundukkan kepala dan berjalan cepat sampai melewati sungai." (HR Bukhari dan Muslim).


5.Tidak dibolehkan juga wanita bepergian tanpa mahram. 


Para ulama telah memberikan fatwa haramnya wanita pergi haji atau umrah tanpa mahram. 


Demikian hukum piknik, berlibur, atau berwisata dalam Islam. Wallahu a'lam bish-shawabi.*


Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post