Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam

Perayaan Malam Tahun Baru Masehi: Ritual untuk Dewa Janus
Hukum Menyambut, Memperingati, atau Merayakan Tahun Baru Masehi menurut Islam.

PARA ulama berbeda pendapat tentang hukum merayakan Tahun Baru Masehi, yakni malam 1 Januari.

Dari berbagai literatur kita bisa jumpai dua pendapat utama: mengharamkan dan membolehkan.

Larangan Perayaan Malam Tahun Baru Masehi

Pendapat yang mengharamkan menggunakan dalil tidak bolehnya menyerupai kaum kafir (nonmuslim) karena perayaan malam tahun baru masehi adalah perayaannya kaum Kristen.

Bagi umat Kristen, perayaan tahun baru merupakan "satu paket" dengan malam tahun baru. Itulah sebabnya, ucapan mereka adalah "Selamat Natal & Tahun Baru" (Merry Christmas & Happy New Year).

Rasulullah Saw bersada dalam hadits yang sangat masyhur: “Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka.”

Pendapat di atas adalah pendapat paling kuat di kalangan ulama Islam. Tidak heran jika Pemerintah Kota Banda Aceh, misalnya, melarang perayaan tahun baru Masehi, bahkan jika berupa dzikir sekalipun.

Seperti diberitakan merdeka.com, Pemkot Banda Aceh melarang warga Muslim merayakan tahun baru 1 Januari, meskipun perayaan itu dibungkus dengan nuansa Islam seperti dzikir, tausiyah, maupun pengajian.

"Merayakan tahun baru Masehi itu bukan budaya Islam, itu budaya dan ritual non-muslim, makanya telah diambil kebijakan melarang melakukan perayaan dalam bentuk apapun, termasuk zikir, tausiah maupun mengaji,” kata Zahrul Fajri, Kamis (27/11).

Jikapun kaum Muslim mengadakan pengajian/dzikir yang "kebetulan" pada malam tahun baru Masehi, maka tidak boleh dikaitkan atau dihubungkan dengan tahun baru masehi.

Dewan Fatwa Ulama Arab Saudi, Al-Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al ifta (Komite Permanen untuk Penelitian Islam dan Fatwa) yang diketuai Syaikh 'Abdul-'Aziz bin 'Abdullaah bin Muhammad aalus-Syaikh, termasuk terdepan dalam mengharamkan perayaan tahun baru masehi.

Berikut ini petikan fatwanya:

"Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani menyertakan atas millennium ini berbagai kejelekan, penderitaan, harapan-harapan, dengan begitu yakin akan terealisasinya hal itu atau paling tidak kearahnya, karena menurut anggapan mereka hal ini telah melalui riset dan penelitian. 

Demikian pula, mereka mengkaitkan sebagian permasalahan doktrin mereka dengan momentum ini dengan anggapan bahwa hal itu berasal dari ajaran kitab-kitab mereka yang sudah dirubah. 

Maka, wajib bagi seorang Muslim untuk tidak tertarik kepada hal itu dan tergoda olehnya bahkan seharusnya muslimin merasa cukup dengan Kitab - Rabbnya Ta'ala - dan Sunnah NabiNya (Shallallahu 'alaihi wasallam) dan tidak memerlukan lagi selain keduanya. Sedangkan teori-teori dan spekulasi-spekulasi dan pernyataan atau opini yang bertentangan dengan keduanya tidak lebih hanya kepalsuan belaka."

Momentum ini (yakni perayaan tahun baru Masehi) dan semisalnya, tidak lepas dari pen-campur-adukan antara al-haq dan al-bathil, propaganda kepada kekufuran, kesesatan, tidak bermoral dan kemurtadan yang merupakan manifestasi dari kesesatan menurut syari'at Islam. 

Banyak sekali dalil-dalil dari al Kitab dan as-Sunnah, serta atsar-atsar yang shahih (dari Sahabat dan lainnya), yang melarang untuk menyerupai orang-orang kafir, di dalam hal yang menjadi ciri dan kekhususan mereka. 

Diantara hal itu adalah menyerupai mereka dalam festival hari-hari besar dan pesta-pesta mereka. Hari besar maknanya (secara terminologis) adalah sebutan bagi sesuatu, termasuk didalamnya setiap hari yang datang kembali dan berulang, yang dirayakan oleh orang-orang kafir. Atau sebutan bagi tempat orang-orang kafir dalam menyelenggarakan perkumpulan keagamaan."

Dalam hadits shahih riwayat Anas bin Malik, saat Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wa sallam) datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar atau 'Ied untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, "Dua hari untuk apa ini ?". Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa Jahiliyyah". Lantas beliau bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya : Iedul Adha dan Iedul Fithri" (HR Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra).

Pendapat yang Menghalalkan Perayaan Tahun Baru Masehi

Namun, ada juga ulama yang membolehkan umat Islam turut merayakan tahun baru masehi, dengan syarat:
  1. Tidak menyerupai kaum Kristen dalam perayaannya 
  2. Tidak diniatkan mengikuti ritual orang Kristen.
Penelusuran Risalah Islam, ulama yang membolehkan perayaan tahun baru masehi ini tidak melembaga. Artinya, hanya pendapat pribadi. Ini berbeda dengan ulama yang mengharamkan yang tergabung dalam lembaga resmi seperti Lajnah Daimah Arab Saudi itu.

Lagi pula, secara logika, untuk apa umat Islam merayakan tahun baru masehi itu? Sejarah apa yang kita kaum Muslim peringati dan gali hikmahnya? Tidak ada karena tahun baru itu bukan bagian dari khazanah Islam.

Hanya orang Kristen yang melakukannya karena memang tahun baru masehi itu tahunnya mereka. Umat Islam hanya perlu menghormati keyakinan mereka, tidak mengganggunya.

Tahun baru Islam sudah jelas: 1 Muharram (Tahun Hijriyah). Hari Raya Umat Islam juga sudah jelas: Idul Fitri dan Idul Adha.

Demikian ulasan ringkas tentang Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi. Baca juga Hukum Doa Awal dan Akhir Tahun dalam Islam. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

1 Comments

  1. Bagus, penjelasan yang perlu disimak oleh kaum muslimin.

    ReplyDelete

Post a Comment

Post a Comment

Previous Post Next Post