Hukum Ceramah Tarawih

Selama bulan Ramadhan umat Islam Indonesia biasa melaksanakan shalat tarawih (taraweh) berjamaah di masjid.

Hukum Ceramah Tarawih

Selepas shalat Isya dan sebelum shalat tarawih berjamaah, biasanya ada ceramah tarawih dengan nama Kultum (Kuliah Tujuh Menit) atau tausiyah singkat dengan beragam tema. Ceramah tarawih tidak ada contohnya dari Rasulullah Saw dan para sahabat.

Bagaimana Hukum Ceramah Tarawih? Apakah hal ini termasuk bid'ah? 

Masalah Hukum Ceramah Tarawih sudah banyak dibahas. Intinya, ada dua pendapat, keduanya dengan beberapa catatan.

Hukum Ceramah Tarawih

1. Boleh
2. Sebaiknya Tidak Dilakukan

Ceramah tarawih adalah "hal baru" guna memanfaatkan berkumpulnya umat Islam di masjid selama malam-malam bulan Ramadhan, untuk da'wah atau tausiyah, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang keagamaan.

Mayoritas --bahkan mungkin semua-- ulama di Indonesia tampaknya mengambil pendapat pertama, yakni boleh. Faktanya, mulai masjid negara (Masjid Istiqlal) hingga masjid-masjid kecil di berbagai pelosok umumnya menggelar ceramah tarawih atau tausiyah sebelum shalat tarawih dan witir.

Jalan tengahnya, Ceramah Tarawih hendaknya ringkas, padat, harus menyenangkan, dan tidak menjadi beban bagi jamaah, karena tujuan utama jamaah datang ke masjid adalah untuk shalat tarawih berjamaah, bukan untuk ta'lim atau mendengarkan ceramah.

Argumentasi Hukum Ceramah Tarawih Boleh

Di bulan Ramadhan saling menasihati dan berbagi pesan-pesan kebaikan sangat dianjurkan, terlebih saat umat Muslim berkumpul untuk mengerjakan shalat tarawih berjamaah.

Memang, tidak ada anjuran secara khusus mengenai kultum setelah shalat tarawih. Namun jumhur ulama bersepakat, menjalankan qiyam Ramadhan sangat dianjurkan dibandingkan bulan-bulan lainnya. 

Bentuk dari qiyam Ramadhan beragam, dan kultum setelah shalat tarawih merupakan salah satu bentuk qiyam Ramadhan.

Saling menasihati untuk kebaikan dalam bentuk kultum tentu saja diperbolehkan, baik kultum tersebut dilaksanakan sebelum shalat tarawih atau setelahnya.

Tidak ada tuntutan kewajiban atau larangan mengenai kultum setelah shalat tarawih, maka barangsiapa yang hendak mendengarkan kultum tersebut maka ikutilah, tetapi jika ingin pulang terlebih dahulu itu pun dipersilahkan.

Namun hendaknya sang penceramah menyampaikannya dengan singkat dan jelas, alangkah baiknya ia tidak memanjangkan ceramahnya agar tidak memakan banyak waktu, karena mungkin saja di antara para jamaah ada orang sakit, orang tua maupun pekerja.

Ceramah sebelum sholat tarawih dan sholat witir harus tidak menyusahkan jamaah. Beberapa jamaah ada yang mempunyau urusan penting, ada yang sudah renta, dan ada yang sakit. 

Maka hendaklah meringankan dengan tidak memberikan ceramah di sela sholat, apalagi dengan ceramah yang panjang

Jadi, ceramah tarawih tidak terlarang alias boleh (mubah). Namun, ada syaratnya:
  1. Ceramahnya tidak lama
  2. Sebaiknya dilakukan setelah shalat selesai semua
  3. Tidak dilakukan secara rutin setiap hari.
Hendaknya ceramah disampaikan secara singkat-padat, sehingga tidak membuat jemaah jemu dan pergi meninggalkan mesjid.

Meskipun tidak ada contohnya dari Rasul dan sahabat, namun ceramah tarawih tidak termasuk amalan bid’ah. Tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian.

Argumentasi Sebaiknya Tidak Dilakukan

Tidak ada contoh dari para sahabat dan tabi’in dalam mengkhususkan ceramah tertentu di bulan Ramadhan. Mereka bersepakat untuk memperbanyak membaca Al Qur’an.

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, nasihat yang berbentuk ceramah, sebaiknya tidak dilakukan. 

Jika ada sesuatu yang perlu disampaikan atau suatu keperluan, sebaiknya setelah tarawih selesai. Jika melaksanakan ceramah tarawih tersebut dimaksudkan sebagai ibadah, maka ini bid’ah.

Alasan lain, sebagian orang memiliki kesibukan sehingga ia ingin segera menyelesaikan shalat tarawih karena mengaharapkan pahala yang dikabarkan oleh Rasulullah Saw:

من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة

“Orang yang shalat tarawih bersama imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk.”

Janganlah membuat jamaah merasa ‘terpenjara di masjid’. Rasulullah Saw bersabda:

إذا أمّ أحدكم الناس فليخفف فإن من ورائه ضعيف والمريض وذي الحاجة

“Jika seseorang menjadi imam, hendaknya ia ringankan shalatnya. Karena di barisan ma’mum terdapat orang lemah, orang sakit dan orang yang memiliki keperluan.”

Baca Juga: Bacaan Imam Shalat Jamaah Hendaknya Ringan

Menurut Syaikh Abdur Rahman bin Nashir Al Barraak, mengajarkan perkara agama kepada manusia, disyariatkan di setiap waktu. Karena hal tersebut adalah da’wah ilallah dan merupakan usaha penyebaran ajaran agama. 

Namun, sebaiknya Anda melihat masing-masing kondisi manusia, atau memilih waktu yang tepat sehingga umumnya mereka siap menerima materi. 

Rasulullah Saw biasa memperhatikan kesiapan orang yang diberi ceramah karena khawatir mereka jengkel.

Jika ceramah tarawih menyebabkan sebagian makmum merasa jengkel, maka sebaiknya tidak terlalu banyak melakukannya. 

Yang baik, hendaknya menyampaikannya sebelum shalat fadhu atau setelah selesai tarawih, namun jangan dilakukan secara rutin, juga jangan terlalu lama.

Alasan lain tidak perlu diadakan ceramah tarawih, yaitu agar meringankan orang yang berharap agar shalat tarawih segera selesai karena memiliki keperluan. 

Selain itu, adanya ceramah tarawih ini dapat menghambat orang untuk melakukan aktivitas membaca Al-Qur’an, yang mereka prioritaskan untuk mendapatkan keutamaan bulan Ramadhan.

Shalat tarawih itu rakaatnya banyak dan dilakukan berjamaah, bagi sebagian orang ini sudah berat. Apalagi ditambah dengan adanya ceramah. Dan ini kita lihat sendiri pada realitas, kebanyakan orang terkantuk-kantuk ketika mendengarkan ceramah tarawih. 

Selain itu untk meringankan makmum yang memiliki keperluan. Karena Rasulullah Saw menganjurkan para imam untuk meringankan makmumnya.

Adanya ceramah ditengah tarawih membuat jengkel sebagian orang dan ia keluar dari jamaah sebelum shalat selesai semua, misalnya keluar setelah 8 rakaat dan mengerjaan witirnya di rumah. Padahal jika tidak ada ceramah mungkin ia akan ikut sampai selesai dan mendapatkan keutamaan pahala shalat semalam suntuk.

Syeikh Utsaimin mengingatkan: "Tausiah (sebelum shalat tarawih) bukan termasuk tuntunan para salafus shalih, akan tetapi boleh memberi tausiah jika diperlukan atau setelah selesai shalat Tarawih.

Tapi kalau hal ini dimaksudkan untuk ta’abbud (sebagai bentuk ritual wajib), maka hukumnya bid’ah, dan tanda menjadikannya sebagai ta’abbud adalah dengan merutinkannya setiap malam".

Barangkali sebagian orang memiliki kesibukan lain dan hanya ingin menyelesaikan shalat Tarawih lalu pulang ke rumah supaya dapat mengikuti sunah Rasulullah Saw: "Barangsiapa shalat bersama hingga selesai maka ditulis untuknya seperti qiyamul lail sepanjang malam".

Syeikh Al-Albani rahimahullah pernah ditanya: Apakah imam masjid dalam shalat Tarawih boleh menyampaikan tausiah diantara rakaat shalat?

Beliau menjawab: boleh dan tidak boleh, apabila peringatan, perintah dan larangan disebabkan adanya perkara penting yang tiba-tiba maka ini perkara wajib, adapun apabila itu dijadikan sebagai aturan kebiasaan... maka ini menyelisihi sunah. (Silsilah Huda wan Nur: 656).

Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata:

”Qiyam Ramadhan disyariatkan semata untuk meningkatkan taqarrub kita kepada Allah Ta’ala dengan shalat Tarawih, oleh karena itu maka kami tidak berpendapat untuk mencampuradukkan antara shalat tarawih dengan hal yang berkaitan dengan ilmu dan taklim dan semacamnya, seharusnya hanya diisi dengan shalat Tarawih yang merupakan ibadah murni, adapun ilmu maka ada waktunya, tidak dibatasi dengan waktu, hanya perlu diperhatikan maslahat orang yang belajar, ini aslinya dan saya inginkan dari sini bahwa siapa yang membuat kebiasaan mengajarkan manusia diantara setiap raka’at seperti dalam shalat Tarawih dan itu dijadikan kebiasaan, maka itu termasuk perkara baru yang menyelisihi sunah”.

Hukum Membaca Surat Al Ikhlas Dan Mu’awidzatain

Banyak imam shalat tarawih membaca QS Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas saat rakaat terakhir dalam shalat witir. Bagaimana hukumnya?

Melazimkan Surat Al Ikhlas dan Mu’awidzatain dalam Setiap Raka’at Akhir aari Shalat Witir.
Melazimkan surat Al Ikhlas dan Muawidzatain dalam setiap raka’at terakhir dari shalat witir, termasuk perbuatan bid’ah

Hal tersebut tidak pernah dicontohkan Rasulullah Saw dan ulama salaf dari kalangan para sahabat dan tabi’in. 

Jikapun ada haditsnya, hal itu dengan sanad yang lemah, karena terdapat seorang perawi (As Sary bin Ismail) dan Miqdam bin Daud, yang merupakan perawi yang dhaif. Begitu juga hadits serupa diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam Sunan-nya dan Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya, serta Ibnu Majah dalam Sunan-nya, dari hadits Aisyah dengan sanad yang lemah.

Surah Al-Mu'awwidzat (سورة المعوذات) adalah surat yang terdiri dari surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas.

Mungkin, dibacakannya Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas karena sekaligus untuk pengantar tidur. Diperkirakan, usai shalat witir, jamaah akan tidur. Sedangkan sebelum tidur memang disunahkan membaca Surah Al-Mu'awwidzat.

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، كَانَ إِذَا أخَذَ مَضْجَعَهُ نَفَثَ في يَدَيْهِ ، وَقَرَأَ بالمُعَوِّذَاتِ ، ومَسَحَ بِهِمَا جَسَدَهُ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan tidur, beliau meniup di kedua tangannya, membaca surah mu’awwidzaat (surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas) lalu mengusapkan kedua tangannya pada tubuhnya. (Muttafaqun ‘alaih).

Demikian ulasan seputar Hukum Ceramah Tarawih. Wallahu a'am bish-shawabi. (www.risalahislam.com).

Sumber:
https://www.voa-islam.com/read/ibadah/2010/08/14/9191/hukum-kultum-di-selasela-shalat-tarawih/
https://almanhaj.or.id/3145-seputar-bidah-shalat-tarawih.html
https://ustadzaris.com/hukum-kultum-tarawih-menurut-syaikh-al-albani
https://konsultasisyariah.com/1881-kultum-bada-tarawih-bolehkah.html
https://islami.co/hukum-kultum-setelah-shalat-tarawih/

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post