Hukum Hadroh dalam Islam dan Memainkannya di Masjid

Apa itu hadroh dan bagaimana Hukum Hadroh dalam Islam? Apa hukum hadroh di dalam masjid? 


Hukum Hadroh dalam Islam dan Memainkannya di Masjid


Secara umum, hadroh adalah musik. Alatnya rebana. Hadroh disebut juga "musik terbangan". Maka, hukum hadroh dalam Islam secara umum seperti hukum musik dalam Isam, yakni pro-kontra atau kontroversial (khilafiyah). 


Ada ulama yang membolehkan dan ada pula ulama yang mengharamkan. Keduanya sama-sama memiliki dalil atau argumentasi berdasarkan Al-Qur'an dan hadits.

Apa itu hadroh?

Berbagai literatur menyebutkan, hadroh adalah kesenian rebana yang mengakar pada kebudayaan Islam. Di Indonesia, Hadroh ini identik sebagai kesenian milik lingkungan pesantren, khususnya di tanah Jawa dan di kalangan warga Nahdliyyin (NU).


Hadrah menjadi media apresiasi seni bagi para santri untuk menyalurkan bakat dan minat santrinya.


Data Wikipedia menyebutkan, hadrah (حضرة) adalah ritual kolektif yang dilakukan dalam suatu tarekat atau kelompok Sufi. Hal ini umumnya dilakukan pada malam hari, setelah shalat malam. Ada juga yang menyelenggarakan hadoh pada hari-hari besar Islam. 


Hadrah biasa diadakan di rumah, di masjid, di zawiyah-zawiyah sufi, atau di tempat lainnya. Istilah hadrah dalam bahasa Arab secara harafiah berarti "kehadiran" --dari asal kata hadlaro-yahdluru-hadlran (hadlratan), yang memiliki arti hadir atau kehadiran.


Ada juga sumber yang menyebutkan nama "hadrah" itu diambil dari nama sebuah wilayah, yaitu Hadramaut. 


Sedangkan secara terminologis (istilah), hadrah adalah salah satu bentuk kesenian dalam Islam yang diiringi dengan rebana (alat perkusi) sambil melantunkan syair-syair pujian terhadap Nabi Muhammad Saw. 


Secara historis, hadrah atau yang sekarang ini kita kenal dengan musik terbangan atau rebana, sudah dikenal sejak masa Nabi Muhammad Saw. Hal ini terlihat dari penyambutan kaum Anshar kepada Nabi Muhammad Saw saat sampai di Madinah setelah hijrah dari Makkah.


Ketika sampai di Yatsrib (Madinah), Nabi Muhammad Saw disambut para sahabat atau umat Islam saat itu dengan shalawat badar "Thala'al Badru" yang musik perkusi, sebagai ungkapan diiringi dengan alat kebahagiaan mereka atas kehadirannya. 


Dari situlah kira-kira munculnya hadrah, sehingga dapat dikatakan bahwa hadrah berasal dari Bangsa Arab dan negara negara Timur Tengah.


Seni hadrah diperkirakan mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada abad ke-13 H. Hadrah dibawa oleh seorang ulama besar dari negeri Yaman yang bernama Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al- Habsyi (1259-1333H/1839-1931 M). la datang ke Indonesia dengan misi dakwah Islam.


Di samping itu ia juga membawa kesenian Arab berupa pembacaan shalawat diiringi rebana yang kemudian dikenal dengan Seni Hadrah. Cara Habib Ali dalam mengenalkan Hadrah, yaitu dengan mendirikan sebuah majelis shalawat sebagai sarana mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW.


Jadi, hadroh adalah sebuah alat musik sejenis rebana yg digunakan untuk acara-acara keagamaan seperti acara maulid Nabi Muhammad Saw.


Tujuan hadroh adalah untuk menambah rasa kecintaan kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw. Karenanya, lagu-lagu hadroh berisi puji-pujian dan doa kepada Allah Swt dan sholawat kepada Nabi Muhammad Sae.

Hukum Hadrah dalam Masjid

Banyak masjid menggelar musim hadrah. Bagaimana hukum hadrah di dalam masjid? 


Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum hadrah di dalam masjid ini. Ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya.


Ulama yang membolehkan berargumen dengan dalil berikut:


حَدِيْثُ (أَعْلِنُوْا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوْهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ) التُّرْمُذِي وَضَعَّفَهُ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ مَنِيْعٍ وَغَيْرُهُمْ عَنْ عَائِشَةَ مَرْفُوْعًا بِهَذَا وَهُوَ حَسَنٌ فَرَاوِيْهِ عِنْدَ التُّرْمُذِي وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفًا فَإِنَّهُ قَدْ تُوْبِعَ كَمَا فِي ابْنِ مَاجَهْ وَغَيْرِهِ – المقاصد الحسنة للسخاوي ص: 125


“Umumkanlah pernikahan, jadikan pernikahan di masjid dan tabuhkanlah dengan terbang” (HR Turmudzi, ia menilainya dlaif dan ulama yang lain juga mendlaifkannya). Namun ahli hadis al-Hafidz as-Sakhawi berkata bahwa hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Mani’ dan lainnya. Dengan demikian hadis ini berstatus hasan karena diperkuat (mutaba’ah) oleh riwayat lain”. (Al-Maqashid al-Hasanah 125)./


Ibnu Hajar Al Haitami berkata:


وَفِيهِ إيمَاءٌ إلَى جَوَازِ ضَرْبِ الدُّفِّ فِي الْمَسَاجِدِ لِأَجْلِ ذَلِكَ فَعَلَى تَسْلِيمِهِ يُقَاسُ بِهِ غَيْرُهُ وَأَمَّا نَقْلُ ذَلِكَ عَنْ السَّلَفِ فَقَدْ قَالَ الْوَلِيُّ أَبُو زُرْعَةَ فِي تَحْرِيرِهِ صَحَّ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ وَابْنِ دَقِيقِ الْعِيدِ وَهُمَا سَيِّدَا الْمُتَأَخِّرِينَ عِلْمًا وَوَرَعًا وَنَقَلَهُ بَعْضُهُمْ عَنْ الشَّيْخِ أَبِي إِسْحَاقَ الشِّيرَازِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَكَفَاكَ بِهِ وَرِعًا مُجْتَهِدًا – الفتاوى الفقهية الكبرى – ج 10 / ص 298


“Hadits ini mengisyaratkan dibolehkannya menabuh terbang di masjid karena pernikahan. Jika masalah ini dapat diterima maka menabuh terbang di masjid selain karena nikah juga diqiyaskan dengan hukum tersebut (boleh). Hal tersebut disampaikan oleh ulama Salaf seperti Abu Zur’ah, Ibnu Abdi Salam, Ibnu Daqiq al-Id, Asy-Syairazi dan sebagainya” (Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra 10/298).


Sedangkan Ulama yang melarang menafsirkan hadis di atas bahwa rebana ditabuh di luar masjid:


ﻓﺈﻥ ﻗﻠﺖ – اﻟﻤﺴﺠﺪ ﻳﺼﺎﻥ ﻋﻦ ﺿﺮﺏ اﻟﺪﻑ: ﻓﻜﻴﻒ ﺃﻣﺮ ﺑﻪ؟ (ﻗﻠﺖ) ﻟﻴﺲ اﻟﻤﺮاﺩ ﺃﻧﻪ ﻳﻀﺮﺏ ﻓﻴﻪ، ﺑﻞ ﺧﺎﺭﺟﻪ، ﻭاﻷﻣﺮ ﻓﻴﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﻓﻲ ﻣﺠﺮﺩ اﻟﻌﻘﺪ. اﻩ.


Bukankah masjid tidak boleh ditabuh terbang, bagaimana mungkin diperintahkan menabuh terbang di masjid? 

Jawabannya, terbangan (hadroh) tidak ditabuh di dalam masjid, namun di luar masjid. Perintah dalam hadits ini hanya akad nikah saja di dalam masjid. (Al-Maqashid al-Hasanah, Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I’anah Thalibin, Hasyiah Fathul Mu’in)


Jadi, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum main rebana (terbangan) di dalam masjid pada acara-acara tertentu seperti akad nikah dan pembacaan maulid. Terdapat dua pendapat yang saling bertentangan dalam masalah ini:


Pendapat pertama menyatakan menyatakan bahwa memainkan rebana di dalam masjid diperbolehkan. berdasarkan hadits nabi:


أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ، وَاجْعَلُوهُ فِي المَسَاجِدِ، وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ


“Umumkanlah pernikahan dan lakukanlah di masjid serta (ramaikan) dengan memukul duff (rebana).” (Sunan Turmudzi no. 1089).


Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fatawi al-Fiqhiyah al-Kubra menjelaskan, hadits tersebut mengisyaratkan kebolehan memainkan rebana dalam acara pernikahan di dalam masjid dan diqiyaskan pula kebolehan memainkan rebana untuk acara-acara lainnya. 


Syekh al-Muhallab menyatakan bahwa semua pekerjaan yang dikerjakan di dalam masjid apabila tujuannya demi kemanfaatan kaum muslimin dan bermanfaat bagi agama, boleh dikerjakan di dalam masjid. Qodhi Iyadh juga menyatakan hal yang sama, beliau menambahkan, selama pekerjaan tersebut tidak merendahkan kemuliaan masjid maka boleh dikerjakan.


Kebolehan di atas dengan batasan selama tidak mengganggu kekhusyu’an orang-orang yang sedang mengerjakan ibadah di dalam masjid dan dilakukan dengan cara yang tidak sampai merendahkan kemuliaan masjid. Jika ketentuan tersebut dilanggar maka hukumnya haram.


Pendapat kedua menyatakan bahwa hukumnya haram karena menganggap masjid bukanlah tempat keramaian dengan memukul rebana, melainkan tempat khusus ibadah. 


Adapun hadits yang membolehkan memainkan rebana di masjid, menurut mereka yang maksud hadits itu adalah menampakkan akad nikah di dalam masjid dan memukul rebananya dilakukan di luar masjid.


Imam as-Suyuthi dalam kitab al-Amru bi at-Ittiba’ wa an-Nahyu ‘an al-Ibtida’ menjelaskan: 


“Di antaranya (perkara-perkara bid’ah) adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duff (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat musik. Maka, barangsiapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman:


فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ


“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya.” (QS. an-Nur ayat 36).


Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah Swt memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus (ludah), (bau) bawang putih, bawang merah, nasyid-nasyid dan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barangsiapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari, maka dia adalah pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan dan berhak diberikan hukuman.”


Kesimpulannya, hukum memainkan rebana di dalam masjid --sebagaimana hukum musim itu sendiri-- dalam Islam adalah khilafiyah. Ada ulama memperbolehkannya dan ada pula yang melarangnya. Wallahu a’lam bish-shawabi.


Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post